Teori Perwakilan Politik
Sebelum membahas tentang teori ini, ada baiknya kita
membahas mengenai teori klasik tentang akomodasi yang berkenaan dengan hubungan
antara wakil dan terwakil, dikenal dengan teori mandat. Di dalam
teori ini pada dasarnya berasumsi bahwa subtansi yang diwakili oleh seorang
wakil terbatas pada mandate yang disampaikan oleh orang-orang yang memberikan
mandat. Hal demikian mengharuskan segala tindakat, bahkan termasuk sikap dan
perilaku dari wakil harus senantiasa bersesuaian dengan kehendak dari
orang-orang yang memberikan mandat. Sesuai dengan perkembangan dari teori
mandat ini, berkembang atas dasar asumsi tentang kualitas mandat yang menjadi
dasar hubungan antara seorang wakil dengan orang-orang yang diwakilinya.
(Wahidin, 2007 : 40).
Beberapa variasi di dalam teori mandat ini terdiri dari : Mandat
imperatif, berarti bahwa hubungan antara wakil dengan orang yang
diwakili itu terbatas pada instruksi yang disampaikan oleh orang-orang yang
mewakilinya itu. Wakil tidak diperbolehkan bertindak melampui mandat yang telah
diberikan dengan konsekuensi bahwa jika hal itu dilakukan oleh wakil, maka hal
demikian tidak berada pada hubungan yang benar antara wakil dan orang yang
memberikan perwakilannya.
Mandat bebas,
yang menyatakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai seorang wakil maka semua
tindakan yang dilakukan dipandang berada pada bingkai mandat yang diberikan.
Seluruh aspek yang secara logis menjadi dasar dari mandat yang diberikan kepada
seorang wakil dianggap terakomodasikan di dalam mandat yang disampaikan
tersebut, dengan demikian wakil bebas bertindak sesuai dengan batasan umum yang
dimandatkan kepada dirinya.
Mandat representatif,
merupakan perkembangan kualitas mandat yang bersifat umum. Dalam teori mandat
representatif, duduknya seseorang di dalam lembaga perwakilan dipandang
mewakili keseluruhan kehendak atau aspirasi orang yang memberikan mandat.
Sebagai ciri khas dari mandat ini, bahwa seorang wakil memberikan mandat kepada
dirinya. Mandat diberikan secara umum di dalam sistem tertentu yang kemudian
dikenal melalui Pemilu.
Perkembangan berikutnya di dalam hubungan antara wakil dan
orang-orang yang diwakili ini berkembang Teori Organ yang
beranjak pada kualitas kelembagaan. Bahwa pemilihan organ perwakilan menjadikan
semua kekuasaan berada pada lembaga yang dipilih. Sifat kolektivisme menjadi
ciri khas dari teori organ. Teori ini dipandang sebagai bentuk yang lebih
rasional untuk mengakomodasikan jumlah wakil yang sedikit, dibandingkan dengan
orang-orang yang diwakili dalam jumlah sangat banyak.
Gambaran sederhana dari teori ini bahwa di dalam negara itu
ada berbagai organ yang harus berkinerja sesuai dengan fungsi masing-masing.
Salah satu organ dimaksud adalah lembaga perwakilan yang keberadayaannya
bersifat formalistik. Dalam arti orang-orang yang duduk di dalam organ itu
berada dalam kapasitas umum. Keberadaan organ itu memenuhi persyaratan formal
dari eksistensi negara yang mengaruskan adanya lembaga perwakilan. Jadi tidak
dideskripsikan bagaimana hubungan antara wakil dan orang-orang yang diwakili,
apakah keterwakilannya sesuai atau tidak dengan subtansi yang diinginkan oleh
yang memberikan kewenangan.
Di dalam perkembangan berikutnya tercatat para ahli yang
melakukan telaah tentang bagaimana hubungan antara wakil dan terwakil tersebut
namun pendapat para ahli dapat dipandang sebagai perkembangan teknis. misalnya
gambaran hubungan wakil dan orang yang diwakili dalam nilai sosiologis yang
menggambarkan bahwa lembaga perwakilan pada dasarnya adalah sebagai bangun
sosial masyarakat. Jadi harus mewakili kepentingan masyarakat.
Demikian pula pendapat dari Teori Hukum Objektif
Leon Duguit, yang memberikan analisis tentang bangun lembaga perwakilan sebagai
lembaga hukum yang berisi tidak saja keberadaan wakil dan orang yang diwakil,
tetapi juga aturan-aturan tentang tentang bagaimana mekanisme perwakilan dan
kinerja, daripada wakil di dalam memenuhi aspirasi dari orang-orang yang
diwakilinya. Semuanya harus dituangkan dan terlembagakan dalam hukum yang
bersifat objektif.
Masih ada beberapa pendapat dari para ahli lain yang pada
prinsipnya memberikan pemahaman tentang subtansi, pola hubungan serta implikasi
yang timbul sebagai akibat dari mekanisme perwakilan. Namun pada intinya tetap
pada bahasa yang sama yaitu apakah seorang wakil memang benar-benar dapat
memposisikan dirinya sebagai sosok yang dapat menampung dan tentu saja yang
lebih penting adalah menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan oleh orang-orang
yang memberikan kepercayaan sebagai seorang wakil.
Atas dasar-dasar mekanisme perwakilan sebagaimana
dikemukakan di atas, sebenarnya kekuasaan yang ada pada seorang wakil, dan
kemudian bergabung pada suatu lembaga perwakilan bertumpu pada kewenangan yang
diberikan oleh orang-orang yang memberikan kedudukan. Artinya bahwa keterwakilan
seseorang pada lembaga perwakilan harus senantiasa mewakili kehendak atau
aspirasi dari yang diwakili. Sebagai konsekuensinya jika tidak dapat bertindak
sesuai dengan kehendak orang-orang yang memberikan perwakilan, maka hal itu
berarti keterwakilannya harus diakhiri. Wakil dipandang tidak mampu mewakili
kehendak atau aspirasi, dan sebagai konsekuensinya harus dikembalikan lagi
kepada orang yang telah memberikan mandatnya.
0 komentar:
Posting Komentar