Salah satu kelemahan yang sering terdengar atau ditulis adalah berlanjutnya kelesuan pada ilmu politik dan perbandingan politik. Disiplin ini dinilai terlalu konservatif sehingga dijauhi oleh para aktivis yang terlibat alam-alam perubahan politik. Selain itu kelemahan ini erat kaitannya dengan system politik AS, karena disitulah letak etnosentrismenya. Kebobrokan system politik AS, keterlibatan dosen dan sarjana ilmu politik dalam perumusan kebijakan, dan hubungan riset universitas dengan instansi pemerintah.
Setelah
peran penting kompleks industri militer terungkap pada akhir 1950an, terungkap
pula bahwa selama 1960an universitas-universitas dan yayasan-yayasan swasta
penyandang dana banyak memanfaatkan riset perbandingan politik yang sebelumnya
dipercaya bebas nilai dan netral.
Kenyataan
dan miskonsepsi kebijakan itulah yang akan dibahas disini bersama dengan
tinjauan mengenai profesi yang menjembatani kalangan universitas dan
pemerintah. Aspek ideology dari politik dan ilmu politik akan disimak.
MITOS
DAN REALITAS POLITIK
Kita
perlu membedakan mitos dan kenyataan dalam studi politik. Para pengamat poltik
yang mengkritik pemerintah maupun kelompok swasta yang berpengaruh seringkali
terjebak dalam klise dan generalisasi tak berguna, lemah perspektif historis
atau tindakan yang efektif untuk dilakukan, yang ujung-ujungnya menjadikan isu
rasisme sebagai senjata pamungkas. Agar tidak terjebak disana dibutuhkan bukti
pendukung dan pandangan yang komprehensif dari seluruh masyarakat. Bahkan
banyak penafsiran pada tulisan kotemporer politik tertentu yang tidak lepas
dari asumsi-asumsi tertentu yang dibentuk sebelumnya.
Murray
Edelman (1967:121) misalnya melihat adanya “asosiasi magis dalam pengungkapan
perilaku politik yang menwarnai persepsi dan nilai-nilai sehingga tidak
memungkinkan pihak yang bersangkutan untuk melihat kemungkinan atau laternatif
lain. Mitos dan kenyataan sama-sama mempengaruhi pemahaman. Banyak contoh
negara yang menekankan ideologi tradisional yang mungkin sudah tidak relevan
dengan mayarakat modern dengan teknolog yang tinggi dan tidak terbiasa dengan
masyarakat harmonis dan penciptaan sebuah konsensus. Mitos lainnya yaitu pada
politik international era perang ingin, dimana adanya dua kutub, kapitalis dan
komunis yang berseberangan dimana Negara dunia ketiga tidak mendapat tempat.
Penafsiran
kepolitikan nasional dan internasional selalui diwarnai oleh
cita-cita/ide/gagasan atau ideology selalu melekat pada setiap orang termasuk
yang menyatakan bahwa “ideology sudah mati” seperti Daniel Bell.
Istilah
ideologi muncul di era paska pencerahan, dimana bgi mereka ideology merupakan
suatu cara untuk menmukan kebenaran dan mengenyahkan ilusi. Perngertian lain
disamapaikan oleh Karl marx dalam German ideology bahwa istilah idelogi dengan
kesadaran keliru atau serangkaian ilusi politik oleh sebuah kelas social
tertentu diaman perjuangan kelas lah yangakan memunculkan kesadaran sejati dan
akan menghilangkan takhayul dan mitologi. Sedangkan menurut Mannheim (1936:204)
yaitu gagasan yang sengaja diajukan untuk menyembunyikan sesuatu dala mtatanaan
social, dimasa lalu, sekarang maupun akan datang merupakan ideology, yang
kenyataan tidak akan terwujud dalam tatanan sosial yang bersangkutan.
Makna
ideologi secara spesifik dewasa ini oleh ilmu social kontemporer, adanya
penggunaan makna ideologi secara peyoratif untuk merujuk pada kredo rezim
totaliter sehingga muncul anggapan ideologi tidak akan ada lagi dalam
masyarakat demokratis. Padahal kenyataannya dalam sebuah Negara yan termakmur
sekalipun masih mengacu pada kepentingan kelmpok tertentu dengan kontrol halus
dan ditopang dengan aneka keyakinan agar diterima masyarakat luas. Contoh
ideology dalam versi Marx sangat berakar kuat di dalam masyarakat AS yang
seharusnya sudah memahami kesadaran palsu yang ada pada mereka namun juga tak
sanggup berbuat apa-apa.
Sejak
lama ideology selalu hadir dalam proses industrialisasi dan berbagai
konsekuensi ekonomi dan sosialnya, ideologi komunis dan kapitalis misalnya
lahir dalam sebuah proses perubahan ekonomi dan situasi politik yang serba
cepat dimana kaum kapitalis memuja pasar bebas dan komunis memuja masyarakat
tanpa kelas sehingga ideology biasanya dikaitkan dengan sebuah cita-cita luhur
dengan bahasa yang serba muluk. Ada pendapat yang menyatakan bahwa kemajuan teknologi
dapat menstabilkan kondisi sehingga konsensus demokratis pun merebak sehingga
ideology hanya bertahan di Negara dunia ketiga karena disana ideology, selain
bersifat parochial juga diciptakan oleh penguasa untuk meraih kekuasaan atau
menumbuhkan ekonomi. Selain itu juga alasan lainnya adalah bahwa institusi
demokratis sangat lemah sehingga penguasaan ada dalam tatanan elit totaliter.
Joseph
La Palombara mengecam para penulis yang tidak memahami ideologi sebagai
seperangkat nilai, keyakinan, harapan, atau kelompok yang hanya memahami
ideology ala marx (konflik) ataupun yang menyatakan ideologi sudah mati.
Ideology
menjadi penting untuk dipelajar di masa sekarang karena penerapan ilmu
pengetahuan dan penyelesaian masalah kemanusiaan selalu dikaitkan dengan
konflik ideology. Walaupun ada perkembangan dari Negara kesejahteraan
pertanyaan-pertanyaan lama masih menjadi perhatian utama dalam studi-studi
politik kontemporer.
Sejalan
dengan itu, berkembang pula imu politik sebagai sains, idenye bertumpu pada prses
industrialisasi dan teknikalisasi dengan berciri pada birokrasi, spesialisasi
dan pembagian kerja. Hal ini berpengaruh pada kegiatan pendidikan, yang oleh
kaum kiri baru memaknai pengetahuan sebagai komoditi dengan konsekuensi yaitu
alienasi. . transfrmasi ilmu politik menjadi sebuah sains tampaknya bertolak
dari keterpukauan terhadap kejayaan ilmu-ilu eksakta (somit dan tanenhaus 1967:
110-117), ilmu politik berubah “netral” dan meniru periolaku ilmuwan eksakta
dalam merumuskan unit-unit pengukuran yang serba pasti. Tinjauan kritis dari
Thomas Kuhn (1970) yang disebut paradigma atau gagasan pengaturan dasar tentang
karakter fundamental dari kenyataan bahwa bagaimanapun ilmuwan social tidak
dapat mengabaikan struktur keyakinan yang tidak dapat diukur secara pasti.
Dalam
upaay mencari paradima ilmiah, ilmuwan politik acapkali menepiskan sunstansi
yang penting dan dan hanya terfokus pada kegiatan rutin dengan teknik dan
metodologi yang cenderung memanipulasi, contohnya pada asumsi terhadap
masyarakat AS yang asal-asalan terutama tentang studi demokrasi AS. Hal inilah
yang mendasari bertahannya ideology dalam ilmu politik di AS.
Karena
kecenderungan bias nilai seperti inilah yang menganggap kelembagaan politik
adalah baik serta tindakan AS dengan negar lain yang dianggap serba mulia.
Begitu juga studi tentang pasar bebas diaman mekanisme pasar dianggap hal
terbaik bagi para pekerja maupun pemilik modal untuk memberikan keuntungan bagi
semua pihak, mereka melupakan bahwa kenyataannya pasar dikuasai segelintir
perusahaan yang serakah dan pengawasan pemerintah agar tersedianya barang yang
bagus dan terjangkau bagi kesejahteraan dianggap sebagai gangguan. Dinyatakan
juga bahwa kebebasan individual yang paling mendasar adalah hak untuk
mendapatkan kekayaan pribadi. Sehingga AS berkepentingan menghalangi penetrasi
kekuatan asing sperti komunisme dan AS juga menyebarkan tradisinya ini kepada
Negara-negara di dunia terutama Negara terkebelakang. Kenyataan inilah yang
menghadapkan mahasiswa pada mistik ideologis dalam melingkupi semua hubungan
politik yang secara bersamaan juga menyadarkan kaum akademisi akan jubah
mitologis yang dikenakan oleh ideology AS.
Pertama
marvin Surkin (1969:573) bpendapat bahwa ilmu social pada umumnya dan ilmu
politik pada khususnya cenderung melayani kepentingan institusi-institusi
dominan di AS. Thesis kematian idelogi dan pengetahuan serta teknologi bebas
nilai adalah kanyol, karena hal tersebut dikembangkan untuk melayani
kepentingan negqra AS dan elit korporat di dalam dan diluar negeri.
James
Petras (1965) secara spesifik merujuk ke aliran pemikiran yang mengutamakan
stabilitas dan pemeliharaan kepentingan status quo demi terjaganya keseimbangan
dan equilibrium. Diaman equilibrium dengan hal-hal yang dibatasi merupakan
ekspresi dari kepentingna elit yang berarti kepentingan pihak lain akan
dipinggirkan.
Aliran
ideologis lain mengakui adanya kepentingan yang tak terlayani dan konflik di
dalam interaksi mayarakat, namun menganggap politik pada hakikatnya adalah
keseimbangan berbagai kekuatan dalam pembuatan kekuatan. Disamping itu ada pula
aliran yang mengutamakan peranan infara struktur berupa partai politik yang
dianggap memungkinkan system politik bertanggung jawab terhadap masyarakat.
Semua aliran ideologis ini sama-sama mementingkan stabilitas dan pemeliharaan
status quo; equilibrium dan keseimbangan; konsesus dan pluralism; serta otonomi
dan partisipasi.
Gitlin
(1965) mengunakan istilah “pluralisme local” dalam ilmu politk yang diartikan
sebagai kekuasaan yang terbagi ke berbagai kelompok dan institusi sehingga
tidak ada pihak yang lebih dominan dari yang lainnya. Freiberg memaparkan
pemikirannya mengenai produksi pengetahuan ideologis bahwa ilmu-ilmu social
bukanlah ilmu yang sesungguhnya melainkan sekedar pembakuan dari proses ideologis
tertentu, dan disitu letak esensi dan maknanya. Aptheker merangkum
kecenderungan ideologis di AS sejak 45, ia mencatat adanya kekaguman semu
terhadap obyektifitas dan empirisme murni dan berlebihan. Ia berpendapat kajian
yang berkembang terlalu statis karena terus-menerus bersifat elitis dan
konservatif, dan daalm waktu yang bersamaan melecehkan marxisme sebagai
pemikiran kosong yang tidak ada gunanya (Aptheker 199:26-27). Sintesis konsepsi
ideologis borjuis khas soviet dapat ditemukan pada L.N. Moskichov (1974).
Bertolak
dari kecenderungan ideologis seperti ini dalam ilmu politk di AS, lantas
bagaimana hubungan antara ilmu plitik itu sendiri dengan universitas, pemrintah
dan dunia bisnis?.
ILMU
DAN PROFESI POLITIK
Noam
Chomsky (1969) pernah mengaitkan kegagalan para ilmuwan social mengkritisi
kebijakan dan tindakan pemerintah dengan nilai-nilai demokrasi tradisional.
Dalam kenyataannnya mereka tidak kritis, melepas independensi berpikir,
mengabaikan pengajaran dan mencemarkan kesarjanaan mereka untuk memperoleh uang
dan kekuasaan melalui profesionalisasi ilmu mereka. Inilah sesungguhnya
ideologi utama dalam ilmu politik.
Setelah
pertemuan di universitas California, Barkeley, dan kemunculan organisasi
profesi tandingan yaitu Caucus for a New Political Science, Alan Wolfe (1969),
pemimpin kaukus juga berusaha membenahi struktur, prosedur dan klik-klik dalam
organsasi. Ia mendapati bahwa ternyata sedikit sekali anggota tetap organisasi
yang menghadiri acara-acara pertemuan tahunan dan prosedur nominasi pengurus
ternyata mengingkari prinsip-prinsip politik yang sehat dan hanya ditentukan
oleh segelintir tokoh. Ia menyimpulkan bahwa dalam pola lama, seseorang tidak
mungkin menjadi ilmuwan politik yang diakui jika ia tidak menjadi anggota
asosiasi (wolfe 1969:357). Banyak praktek dalam asosiasi ilmu politik yang
dipertahankan atas nama profesionalisme, padahal tujuannya adalah melayani
kepentingan kalangan mapan yang hanya kebetulan lebih dahulu menekuni ilmu
politik.
Pergumulan
dan perlawanan sperti ini tidak hanya monopoli asosiasi ilmu politik, asosiasi
sosilogis juga mengalaminya, kemunculan Sociology Liberation Movement dan
Union of Radical Sociologist. Dengan tokoh-tokohnya Alvin Gouldner
(1970) yang melihat sosiologi sebagai peneliti pasar untuk Negara kesejahteraan
dan ia mengakui bahwa obyektifitas akademik mendorong para sosiolog untuk
menyesuaikan diri. Gouldner menunjukkan bahwa akar sejarah sosiologi dapat
ditemukan pada reaksi kaum borjuis terhdap pencerahan dan revolusi prancis.
Selain
itu generasi muda ekonom yang radikal menentang para ekonom ortodoks yang yang
mereka anggap dalam upaya mempertahankan kapitalisme telah mendorong
Negara-negara termaju ke dalam inflasi, pengangguran dan pertumbuha yang idak
merata (Lifschultz 1974). Mereka cenderung menerapkan pemikiran marx dalam
menyerang pandangan orthodok dan kritikan dikhususkan pada karakteristik
dominan kapitalisme di dunia kontemporer, secara spesifik kaum ekonom radikal
berpendapat bahwa pembangunan Negara-negara kapitalisme maju bertumpu pada
penaklukan dan eksploitasi tehadap Negara-negar miskin. Perdagangan, investasi
dan bantuan luar negeri pada dasarnya merupakan instrument untuk menciptakan
hubungan timpang itu, sehingga Negara maju kaya terus maju dan Negara miskin
terus terbelakang. Hal ini juga terjadi di banyak disimplin ilmu lainnya
seperti antrpologi, Marvin Harris (1968) yang mencoba melacak kemunculan teori
antropologi ketika masih menjadi bagian ilmu sejarah. Sejak tahun 1967 sebuah kaukus
radikal mendorong para antropolog untuk lebih memperhatikan masalah kemanusiaan
ketimbang berkutat dengan dokumentasi tradisi masyarakat primitive. Mereka juga
menentang prosedur manipulasi di American Anthropological Association
dan menentang keikutsertaan anthrpolog dalam riset-riset intelejen anti
pemberontakan. Dalam ilmu sejarah para sejarwan kiri mempersoalkan naskah
jurnal resmi American Historical Review yang mereka nilai apolitik.
Mereka juga mengkritisi terbatasnya peran sejarawan dalam pemecahan masalah
sekarang. Dalam kalangan ahli bahasa, Noam Chomsky tokoh linguis radikal
menciptakan revolusi dalam ilmu linguistic dengan mengaitkan ilmu bahsa dengan
politik.
Perhatian
para ilmuwan seperti Chomsky terhadap perang di Indochina dan menguatnya
pengaruh-pengaruh perusahaan multinasional terhadap berbagai masalah dunia
menimbulkan guncangan dalam komunitas ilmiah. Kritik relevansi disiplin
keilmuan professional ini meluas ke berbagai asosiasi spesialis kajian wilayah.
Ini berpengaruh menjadi mogoknya ilmuwan kulit hitam dan latin dari AS dan
Afrika sampai dilakukannya penyeimbangan rasial dalam pada kmposisi keanggotaan
dewan direktur. Latin American Studies Association juga diguncang oleh
para anggta radikalnya yang menyatakan adanya eksploitasi AS terhadap Amerika
latin.
KESARJANAAN,
ETIKA DAN KEMAPANAN
Ditengah
situasi dimana universitas bergantung kepada masyarakat bagi pemenuhan segala
kebutuhannya, pengetahuan menjadi sebuah komoditi. Dan mahasiswa menggunakan
pengetahuan sebagai alat bukan sekedar wahana dialog antara dirinya dengan
dunia luar. Universitas ternyata berkembang menjadi sebuah industry birokratis
yang orientasinya adalah spesialisasi dan pembagian kerja. Ketika karya
komersil manjadi nomer satu dan kaya akademik dinomorduakan mereka tidak lagi
mempersoalkan hasil final karyanya (dampak dan etisnya), dan perjuangan
intelektual menjadi komponen dari kompleks industri dan militer modern.
Hubungan
antara universitas dan masyarakat juga berubah akibat faktor khusus, kekalahan
AS di Indochina, skandal Watergate dan maraknya kegiatan mata-mata terhadap
warga AS sendiri, memunculkan pertanyaan tentang organisasi dan maksud
keberadaan masyarakat, ditambah ditemukannya bahwa direktur eksekutif dan
bendahara dari asosiasi politik professional merupakan agen aktif CIA. Reaksi
atas ini dibentuklah komite khusus untuk mengawasi standar pofesional termasuk
tanggungjawab dan pelaksanaan kegiatan profesional. Dalam laporannya ternyata
para ilmuwan ini mengabaikan unsur etika dan komite pada umumnya mendapati
bahwa ilmuwan politik merupakan “pengejar harta” dan peneliti makmur yang
berusaha menyeimbangkan kepentingan universitas dan pemrintah yang mengontrak
mereka.
Besarnya
masalah etis dapat dipahami denan menyimak berbagai kasus kolusi ilmuwan
pemerintah dan ilmuwan-perusahaan yang terbongkar selama 1970an berikut ini .
ILMU
SOSIAL DAN PEMERINTAH
Perhatian
para ilmuwan politik tertuju pada kebijakan (policy) dan riset mreka berpotensi
dan kenyataannya memang sering mempengaruhi perumusan atas suatu kebijakan.
Oleh sebab itu, penerimaan dana bantuan pemerintah bagi kegiatan riset tersebut
mengandung implikasi-implikasi etis. Sensor dan campur tangan penyedia sponsor
acapkali sulit ditolak. Padahal pihak intelejen sangat berkepentingn menyeleksi
data atau informasi yang akan di publikasikan. Contoh yang paling gamblang atas
upaya pihak intelejen untuk mengontrol riswet adalah yang disebut denan pryek
Camelot.
Proyek
camelot pada tahun 1963 oleh Army Research Office awalnya dilancarkan
karena prihatin dengan maraknya pemberontakan diseluruh dunia dan ingin
menemukan cara menghadapinya. Amerika latin menjadi kawasan penelitian terpadu
tapi kemudian terbongkar di chile pada tahun 1965 dan akhirnya mendapat kecaman
dari berbagai reaksi yang juga akhirnya merusak kredibilitas para ilmuwan AS di
seluruh amerika latin. Kecaman terhadap proyek ini membangkitkan protes
terhadap semua riset yang disponsori oleh dephan. Sebagian sponsor dilakukan
atas dasar kontrak-kontrak federal dengan berbagai universitas. Sebagian lagi
dilaksanakan leh pihak militer bersama lembaga penelitian yangmemang dibentuk
atas sponsor miltier. setelah munculnya keluhan dari para ilmuwan social di
Jepang dan Swedia terungkap pula bahwa pentagon juga mensponsori berbagai riset
diberbagai universitas mancanegara.
Keterbatasan
sumberdaya menjadikan universitas tergantung pada bantuan pemerintah federal
bagi penyediaan dana-dana penelitian dan sebagai imbalannya universitas
mwenawarkan sumberdaya intelektual teknis.
Pengungkapan
proyek-proyek itu mendorong para mahasiswa dan kalangan akademik anti perang
untuk menentang semua bentuk kerjasama antara universitas da ndephan. Taktik
perlawanan mereka berupa tidak hanya sekedar ceramah tapi juga melakukan
pemgokan, karena hal tersebut kerjasama pun diubah menjadi penelitian ilmu
dasar yang tidak terlalu menyangkut kepentingan Pentagon, dampaknya biaya yang
disediakan sangat kecil sehingga memaksa universitas-iuniversitas untuk tetap
menerima kontrak rahasia.
Hubungan
CIA dengan universitas ini tidak berhenti disana tetap juga ternyata banyak
administrator universitas yang memata-matai mahasiswa tertentu atau ikut dalam
kegiatan intelejen tertentu di luarnegeri. Salah satu bentuknya adalah
kerjasama universitas Michigan dan militer Bolivia dalam penggunaan fotografi
infra merah yang berhasil menewaskan pejuang revolusi Kuba, Che Guevara.
Namun
hal yang paling mengejutkan bagi dunia akademik adalah terungkapnya fakta bahwa
CIA meyubsidi National Student Association sebesar $4 juta dari tahun
1952-1967 dan merekrut tiga perempat dari pimpinan teras NSA dari tahun
1956-1967 sebagai agen CIA. Jutaan dolar juga di telah disalurkan keberbagai
organisasi kepemudaan diluar dari yang telah diberikan ke kalangan akademik,
riset, jurnalistik, serikat buruh bahkan dunia hukum baik diluar maupun didalam
AS. Terakhir CIA berusaha menyusup secara langsung keberbagai organisasi budaya
dan memberikan banyak subsidi rahasia keberbagai penerbit untuk menerbitkan
buku guna mendukung tindakan-tindakan AS. Namun subsidi itu tidak dapat
menyentuh Phillip Agee, mantan agen yang menggambarkan secara gamblang
petualangannya di Ekuador, Meksiko dan Uruguay dalam bukunya yang berjudul Inside
the Company dan beberapa mantan agen lainnya yang juga menerbitkan buku
seperti; Victor Machetti dan John Marks dengan The CIA and the Cult
Intelligence, Decent Interval karya Frank Snapp dan In search of
Enemies oleh John Stockwell.
Jelas
bahwa penyusupan CIA ke dalam dunia akdemik dan kebudayaan sangat mempengaruhi
perkembangan ilmu politik. Demikian pula dengan kegiatan-kegiatan FBI.
Rekrutmen yang mereka lakukan telah melemahkan kredibilitas karya-karya
perbandingan politik, bahkan menggoyahkan integritasnya sebagai sebuah disiplin
ilmu.
ILMU
SOSIAL DAN PERUSAHAAN TRANSNASIONAL
Selama
penghujung tahun 1960-an kaum radikal juga mengarahkan perhatian mereka
terhadap perusahaan-perusahaan besar. Keputusan-keputusan universitas ini
dibuat oleh para direktur yang sebenarnya melayani kepentingan dunia bisnis,
perbankan, birokrasi dan militer. Lembaga public seperti university of
California dikendalikan oleh keluarga-keluarga kaya dan diabadikan dengan
berbagai cara.
Lebih
jauh dikemukakan pula bahwa keterkaitan antar universitas dan dunia bisnis
cocok dengan karakter kapitalis, khususnya kapitalisme AS di dalam dan di luar
negeri. Riset riset yang disponsori yayasan yang diadakan di luar negeri tentu
saja sering dipertanyakan oleh Negara-negara dimana penelitian itu diadakan
apalagi jika yayasan-yayasan itu terkait dengan perusahaan yang sedang
beroperasi disana. Sebagai konsekuensinya motif, tujuan dan pelaksanaan riset
yang dilaksanakan para analis perbandingan politik pun dicurigai. Masalahnya
mejadi serius apalagi ada dugaan suap dan korupsi yang dilakukan oleh
perusahaan transnasional kepada pejabat setempat.
Terakhir
pembentukan dan kegiatan-kegiatan Trilateral Commissions membuktikan
kebenaran sinyalemen tentang adanya hubungan khusus antara perusahan
transnasional, pemerintah dan dunia akademik.
0 komentar:
Posting Komentar