Oleh :
Yoghi Kurniawan Prathama
Berbicara
mengenai perkembangan teori kritik tentu kita telah mengenal beberapa orang
filsuf atau ilmuwan yang konsern di bidang teori kritik seperti Karl Marx,
Hegell, Jurgen Habermas, Adorno, Derrida, dan Pierre Bourdieu. Banyak ide – ide
atau gagasan kecil dari para tokoh tersebut yang secara ringan maupun ekstream
mengkritisi suatu hal, terutama modernism, kapitalisme, globalisasi dan
lainnya. Teori kritik berkembang dari kritikan terhadap pemikiran ilmuwan –
ilmuwan positivism dan modernism, dengan segala keteraturannya yang rigid dan
kaku.
Kita
bisa lihat dari beberapa gagasan kritis seperti yang dikemukakan Habermas
mengenai Public Spare, dimana perlu
adanya ruang – ruang diskusi dalam masyarakat untuk membicarakan hal – hal
permasalahan publik sebagai kontra dari otoriter pemerintah dalam menguasai
rakyatnya. Kemudian, Derrida dengan teori dekontuksinya serta oposisi binner yang sangat terkenal,
yang secara pemikiran mampu mengubah paradigm berpikir ilmuwan – ilmuwan dewasa
ini.
Dari
beberapa tokoh teori kritis tersebut, saya lebih tertarik untuk membahas
mengenai pemikiran Pierre Bourdieu. Dimana tokoh yang dikenal sebagai salah
satu filsuf di abad modern ini banyak menelurkan ide – ide gagasannya tentng
teori kemsyarakatan utamanya mengkritisi dominasi ekonomi di dalam masyarakat
contoh pemikirannya seperti konsep Habitus,
Arena, serta Dominasi Simbolik yang ia tuangkan dalam
karya – karyanya.
Pierre Bourdieu lahir pada 1 Agustus
1930 di Denguin, Prancis. Ia meninggal pada 23 Januari 2002 di Paris, Prancis (Wikipedia Indonesia). Ia dikenal
sebagai seorang intelektual publik yang lahir dari pengaruh pemikiran Emile
Zola dan Jean-Paul Sartre. Konsep-konsep yang ia kembangkan amat berpengaruh di
dalam analisis-analisis sosial maupun filsafat di abad 21. Sebelum meninggal,
ia mengajar di lycée di Moulins (1955–58), University of Algiers (1958–60),
University of Paris (1960–64), École des Hautes Études en Sciences Sociales
(dari 1964), dan Collège de France (1982).
Dari beberapa tulisan yang say abaca,
Pierre Bordieau telah menghasilkan beberapa karya fenomenal dalam bukunya.
Seperti Sociologie de l’Algérie (1958; The
Algerians, 1962), La Distinction (1979; Distinction, 1984), dan masih banyak lagi yang
lainnya. Dimana dalam buku - buku hasil
karyanya berisi tentang kritikan terhadap konsep – konsep ekonomi liberal
maupun neoliberal, kapitalisme, globalisasi, bahkan pendidikan. Dari beberapa gagasannya saya akan
menguraikan beberapa pemikirannya dan menganalisis implikasi dari pemikirannya
dalam realitas saat ini, khususnya di Indonesia.
Pierre
Bourdieu tentng Habitus
Bourdieu memandang kekuasaan dalam
konteks teori masyarakat, dimana ia melihat kekuasaan sebagai budaya dan simbolis
dibuat, dan terus-menerus kembali dilegitimasi melalui interaksi agen dan
struktur. Cara utama ini terjadi adalah melalui apa yang disebutnya 'habitus' atau norma disosialisasikan
atau kecenderungan bahwa perilaku panduan dan berpikir.
Habitus adalah kebiasaan
masyarakat yang melekat pada diri seseorang dalam bentuk disposisi abadi,
atau kapasitas terlatih dan kecenderungan terstruktur untuk berpikir, merasa
dan bertindak dengan cara determinan, yang kemudian membimbing mereka. Sedangkan menurut Ayub Sektiyanto bahwa Habitus merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak selalu
disadari) yang diterjemahkan menjadi kemampuan yang terlihat alamiah.
Jadi Habitus
tumbuh dalam masyarakat secara alami melalui proses sosial yang sangat panjang,
terinternalisasi dan terakulturasi dalam diri masyarakat menjadi kebiasaan yang
terstruktur secara sendirinya. Habitus dibuat melalui
proses sosial, bukan individu yang mengarah ke pola yang abadi dan ditransfer
dari satu konteks ke konteks lainnya, tetapi yang juga bergeser dalam kaitannya
dengan konteks tertentu dan dari waktu ke waktu. Habitus tidak tetap atau permanen, dan dapat berubah di bawah situasi yang tak
terduga atau selama periode sejarah panjang
Bourdieu dalam bukunya juga
mengatakan bahwa Habitus bukanlah hasil
dari kehendak bebas, atau ditentukan oleh struktur, tapi diciptakan oleh
semacam interaksi antar waktu: disposisi yang keduanya dibentuk oleh
peristiwa masa lalu dan struktur, dan bentuk praktik dan struktur saat ini dan
juga, penting, bahwa kondisi yang sangat persepsi kita ini.
Dalam pengertian ini habitus dibuat dan direproduksi secara tidak sadar.
The
habitus is not only a structuring structure, which organizes practices and the
perception of practices, but also a structured structure: the principle of
division into logical classes which
organizes the perception of the social world is itself the products of
internalization of the division into social classes. (Bourdiou,
1984. Hal : 170).
Aplikasi
dari konsep Habitus yang dikemukakan
oleh Pierre Bourdieu bisa kita lihat dengan beberapa contoh kasus dimasyarakat.
Misalnya dalam budaya masyarakat Indonesia khususnya masyarakat jawa. Kita
mungkin mengenal dengan budaya patrimonial, dimana ketundukan seorang rakyat
pada raja (penguasa). Tabu bagi masyarakat jawa untuk menentang segala titah
raja, kebiasaan ini sudah melekat dalam
tradisi masyarakat jawa. Dimana pemimpin (raja, penguasa, pemerintah) meruapakan
titisan tuhan dimuka bumi. Budaya patrimonial ini bisa dilihat pada masa
pemerintahan orde baru dengan sistem pemerintahan yang otoriter. Semua struktur
pemerintahan terpusat dibawah tampuk komando Soeharto, segala titah Soeharto harus dilaksanakan.
Budaya “bapakisme” atau asal bapak senang sudah terinternalisasi selama 32
tahun masa pemerintahan Soeharto, terutama dalam tubuh birokrasi di Indonesia,
yang mungkin dewasa ini kita masih bisa merasakannya.
Selain
itu, contoh lainnya adalah budaya “Patriarki”
atau kedudukan perempuan dalam struktur sosial masyarakat. Dalam adat budaya
timur, khususnya Indonesia, perempuan selalu menjadi subordinat dari laki –
laki dalam berbagai hal. Posisi subordinat dalam masyarakat ini terbentuk
secara alami dan terinternalisasi dalam waktu yang lama. Sehingga sudah menjadi
asumsi umum bahwa perempuan berada dibawah laki – laki. Seaktif apapun peranan
perempuan diluar baik dalam berbagai ranah seperti politik, bisnis, hukm,
maupun ekonomi, saat kembali ke rumahnya tetap kedudukan perempuan menjadi
istri rumah tangga, laki – laki yang menjadi pemimpin keluarga. Ini menjadi
kebiasaan dalam kultur masyarakat Indonesia, dimana tabu bagi perempuan untuk
melakukan tugas laki – laki, termasuk dalam terjun dalam arena politik.
Pierre
Bourdieu tentang Kapital (Modal)
Selain konsep habitus, kelanjutan
dari pemikiran Bourdieu adalah mengenai capital (modal). Kapital (modal) adalah
hal yang memungkinkan kita untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam
hidup. Ada banyak jenis kapital, seperti kapital intelektual (pendidikan),
kapital ekonomi (uang), dan kapital budaya (latar belakang dan jaringan).
Kapital bisa diperoleh, jika orang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya.
Dimensi modal disini beragam, mungkin itu modal sosial, modal budaya, maupun
modal ekonomi.
Modal memainkan peran yang cukup
sentral dalam hubungan kekuatan sosial. Dimana modal menyediakan sarana dalam
bentuk non-ekonomi dominasi dan hierarkis, sebagai kelas yang membedakan dirinya. Modal merupakan simbolik dari adanya
ketimpangan dalam masyarakat. Dimana masyarakat terstratifikasi dari
kepemilikan modal.
Adanya konsep si miskin dan si kaya,
adanya pengusaha dan buruh mencerminkan adanya ketimpangan dalam hal
kepemilikan modal. Barang siapa yang memiliki modal, maka dia akan menguasai
arena, atau bisa menyesuaikan diri dengan arena yang ada. Pun demikiran dalam
konteks politik, saat seseorang memiliki modal politik (sumber daya politik),
maka ia akan berperan aktif dalam ranah atau arena politik untuk mendaptkn sumber – sumber kekuasaan
dalam politik, baik itu jabtan, kedudukan, ataupun kewenangan lainnya, termasuk
keuntungan dari perburruan rente dalam ranah politk.
Pierre
Bourdieu tentang Arena
Arena adalah ruang khusus yang ada
di dalam masyarakat. Ada beragam arena, seperti arena pendidikan, arena bisnis,
arena seniman, dan arena politik. Jika orang ingin berhasil di suatu arena,
maka ia perlu untuk mempunyai habitus dan kapital yang tepat.
Ayub Sektiyanto mengemukakan Arena merupakan ruang yang terstruktur dengan
aturan keberfungsiannya yang khas namun tidak secara kaku terpisah dari
arena-arena lainnya dalam sebuah dunia sosial. Arena membentuk habitus yang
sesuai dengan struktur dan cara kerjanya, namun habitus juga membentuk dan mengubah
arena sesuai dengan strukturnya. Otonomisasi relatif arena ini mensyaratkan
agen yang menempati berbagai posisi yang tersedia dalam arena apapun, terlibat
dalam usaha perjuangan memperebutkan sumber daya atau modal yang diperlukan
guna memperoleh akses terhadap kekuasaan dan posisi dalam sebuah arena.”
Aplikasi
dari konsep Habitus, Kapital dan Arena ini kita analisis dari realitas yang ada
di Indonesia. Pada masa runtuhnya rezim orde lama, sentiment masyarakat
Indonesia sangatlah besar kepda Partai Komunis, paham – paham komunis dianggap
sebagai paham yang negative, identik dengan kekerasan. Dari stigma negative
tersebut, muncul persepsi dalam masyarakat yang menolak paham – paham komunisme
berkembang di tengah – tengah masyarakat. Soeharto saat memulai rezimny
memanfaatkan Habitus masyarakat saat
itu yang membenci komunisme untuk menguasai arena politik pada saat itu,
Soeharto pun memainkan peranannya sebagai sosok protagonist yang memiliki modal
(capital) sebagai dewa penyelamat dari pemberontakan G30S/PKI untuk
menggantikan Soekarno menjadi Presiden Indonesia. Saat sumber kekuasaan telah
dimiliki, modal politik sebagai presiden sudah ditangan, selanjutnya bagaimana
Soeharto memanfaatkan modal yang dimilikinya untuk membentuk Habitus masyarakat Indonesia dan
melanggengkan kekuasaannya.
Lagi
– lagi Soeharto mampu melakukan permainannya dengan baik, dilandasi kultur
budaya masyarakat Indonesia yang bersifat patrimonial, Soeharto menerapkan
sistem pemerintahan sentralistik dalam gaya kepemimpinannya. Dimana kekuasaan
terpusat ditangannya, Soeharto dijadikan satu panutan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Budaya sentralistik dan Patrimonial yang diterapkan Soeharto dalam
gaya kepemimpinannya mampu merasuk dalam masyarakat dengan sendirinya, sehingga
Soeharto mampu bertahan menjadi seorang Presiden selama 33 tahun.
Pierre
Bourdieu tentang Distinction
Pierre
Bourdieu menuangkan pemikirannya dalam sebuah buku yakni “Distinction: a social critique of the Judgement of Taste” yang di terjemahkan
oleh Richard Nice. Dlam bukunya yang dimaksud dengan “Distinction” merujuk
pada usaha kelompok individu dalam ruang sosial masing-masing untuk mengembangkan kekhasan budaya yang menandai mereka keluar
dari satu sama lain.
Namun, perbedaan ini dapat menjadi fokus perjuangan
simbolik (perjuangan untuk pembedaan) di mana anggota suatu kelompok berusaha untuk membangun keunggulan dari
pembedaan itu sendiri. Perjuangan simbolis ini pada dasarnya adalah aspek perjuangan kelas. Kontrol atas pengetahuan yang dihargai, sanksi dan
dihargai dalam sistem pendidikan merupakan salah satu aspek ini.
Namun, dalam 'Distinction'
Bourdieu melemparkan jaringnya lebih luas untuk menangkap pengertian yang lebih
umum bentuk dominan penghakiman rasa. Bisa budaya populer seperti musik
dianggap sebagai salah satu aspek perbedaan, merek budaya, di mana konsumen
berada dalam oposisi yang konstan dengan industri budaya, karena mereka
memanfaatkan teknologi untuk mengkonsumsi atau menghasilkan budaya yang mereka sukai.
Contoh
dari konsep distinction ini sangat
beragam dari beragai arena yang ada,baik arena politik, ekonomi, sosial, maupun
budaya. Misalnya dalam konteks gaya hidup (life
style) pembedaan ini bisa dilihat dengan adanya si kaya dan si miskin. Si
kaya memiliki gaya hidup mewah, seperti memakai pakaian bermerek impor, memakai
mobil, berdandan modis, makan di restaurant mahal. Berbeda dengan gaya hidup si
miskin yang sederhana, dengan pakaian, rumah, dan gaya segala hal yang serba
terbatas. Pembedaan ini adalah upaya dari salah satu kelompok untuk mendominasi
kelompok lain dengan menunjukan strata sosialnya, dan berdampak pada
kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Namun
seperti tadi dikatakan bahwa konsep distinction
ini bukan hanya untuk memunculkan cirri khas yang membedakan salah satu
golongan atau kelompok sosial. Namun juga sebagai upaya perjuangan simbolik
dari salah satu kelompok. Misalkan adanya aktivis feminisme di Amerika Serikat,
yang terus berjuang menjunjung tinggi kesetaraan gender, dengan segala
perjuangan sosial politiknya. Melakukan aktivitas – aktivitas yang berbeda
dengan kebanyakan orang lainnya tak lepas hanya untuk memperjuangkan
kepentingan kelompoknya.
Pierre
Bourdieu tentang Dominasi Simbolik
Dominasi simbolik adalah penindasan
dengan menggunakan simbol-simbol. Penindasan ini tidak dirasakan sebagai
penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang secara normal perlu dilakukan. Artinya,
penindasan tersebut telah mendapatkan persetujuan dari pihak yang ditindas itu
sendiri.
Misalnya seorang istri yang tidak dapat membela diri, walaupun telah dirugikan
oleh suaminya, karena ia, secara tidak sadar, telah menerima statusnya sebagai
yang tertindas oleh suaminya.
Namun konsep dominasi simbolik
(penindasan simbolik) juga dapat dengan mudah dilihat dalam konsep sensor
panopticon. Sensor panopticon adalah konsep yang menjelaskan mekanisme
kekuasaan yang tetap dirasakan oleh orang-orang yang dikuasai, walaupun sang
penguasa tidak lagi mencurahkan perhatiannya untuk melakukan kontrol kekuasaan
secara nyata.
Contoh yang bisa kita ambil
kekuasaan Keraton Yogyakarta dengan sosok Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai
symbol kekuasaan di masyarakat daerah Yogyakarta. Tanpa menyentuh langsung
rakyatnya, Sri Sultan sebagai symbol kekuasaan kerajaan sangat dikagumi dan
diakui kharismanya oleh masyarakat. Sri Sultan menjadi panutan dalam kehidupan
masyarakat Yogyakarta, tanpa memberikan perintah sudah dengan sendirinya
masyarakat Yogyakarta hidup tertib, aman, nyaman.
Mekanisme dominasi simbolik nantinya
memuncak pada pemikiran Bourdieu tentang doxa. Secara singkat, doxa adalah
pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat.
Masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis pada pandangan penguasa. Pandangan
penguasa itu biasanya bersifat sloganistik, sederhana, populer, dan amat mudah
dicerna oleh rakyat banyak, walaupun secara konseptual, pandangan tersebut
mengandung banyak kesesatan.
Doxa menunjukkan, bagaimana penguasa
bisa meraih, mempertahankan, dan mengembangkan kekuasaannya dengan
mempermainkan simbol yang berhasil memasuki pikiran yang dikuasai, sehingga
mereka kehilangan sikap kritisnya pada penguasa. Pihak yang dikuasai melihat
dirnya sama dengan penguasa. Mereka ditindas, tetapi tidak pernah merasa sungguh
ditindas, karena mereka hidup dalam doxa.
DAFTAR PUSTAKA
Bourdieu,
Pierre. 1996. Distinction : a social
critique of the judgement of taste. Cetakan ke-8, translated by Richard
Nice. Cambridge. Harvard University Press.